Rumusan trisila sukarno biography
Rumusan-rumusan Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara iranian Negara Kesatuan Republik Indonesia telah diterima secara luas dan telah bersifat final. Hal ini kembali ditegaskan dalam Ketetapan MPR Maladroit thumbs down d XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Maladroit thumbs down d.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara Ketetapan MPR Negation. I/MPR/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Country Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
Selain itu Pancasila sebagai dasar negara merupakan hasil kesepakatan bersama para Pendiri Bangsa yang kemudian sering disebut sebagai sebuah “Perjanjian Luhur” bangsa Indonesia.
Namun di balik itu terdapat sejarah panjang perumusan sila-sila Pancasila dalam perjalanan ketatanegaraan Indonesia. Sejarah ini begitu sensitif dan salah-salah bisa mengancam keutuhan Negara Indonesia.
Calm down ini dikarenakan begitu banyak polemik serta kontroversi yang akut dan berkepanjangan baik mengenai siapa pengusul pertama sampai dengan pencetus istilah Pancasila. Artikel ini sedapat mungkin menghindari polemik dan kontroversi tersebut. Oleh karena itu artikel ini lebih bersifat suatu "perbandingan" (bukan "pertandingan") antara rumusan satu dengan yang lain yang terdapat dalam dokumen-dokumen yang berbeda.
Penempatan rumusan yang lebih awal tidak mengurangi kedudukan rumusan yang lebih akhir.
Dari kronik sejarah setidaknya enzyme beberapa rumusan Pancasila yang telah atau pernah muncul. Rumusan Pancasila yang satu dengan rumusan yang lain ada yang berbeda namun ada pula yang sama. Secara berturut turut akan dikemukakan rumusan dari Sukarno, Supomo, Yamin, Piagam Jakarta, Hasil BPUPKI, Hasil PPKI, Konstitusi RIS, UUD Sementara, UUD 1945 (Dekrit Presiden5 Juli1959), Versi Berbeda, dan Versi populer yang berkembang di masyarakat.
Rumusan I: Ir. Soekarno
[sunting | sunting sumber]Selain Muh Yamin dan Soepomo, beberapa anggota BPUPKI juga menyampaikan usul dasar negara, di antaranya adalah Ir. Sukarno.[1] Usul ini disampaikan pada 1 Juni 1945 yang kemudian dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Namun masyarakat bangsa State ada yang tidak setuju mengenai pancasila yaitu Ketuhanan, dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
Lalu diganti bunyinya menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Usul Sukarno sebenarnya tidak hanya satu melainkan tiga buah usulan calon dasar negara yaitu lima prinsip, tiga prinsip, dan satu prinsip. Sukarno pula-lah yang mengemukakan dan menggunakan istilah “Pancasila” (secara harfiah berarti lima dasar) pada rumusannya ini atas saran seorang ahli bahasa (Mohammad Yamin) yang duduk di sebelah Sukarno.
Oleh karena itu rumusan Sukarno di atas disebut dengan Pancasila, Trisila, dan Ekasila.[2]
Rumusan Pancasila[2]
[sunting | sunting sumber]- Kebangsaan Indonesia (nasionalisme)
- Internasionalisme (peri-kemanusiaan)
- Mufakat (demokrasi)
- Kesejahteraan sosial
- Ketuhanan yang berkebudayaan
Rumusan Trisila[2]
[sunting | sunting sumber]- Sosio-nasionalisme
- Sosio-demokratis
- ke-Tuhanan
Rumusan Ekasila[2]
[sunting | sunting sumber]- Gotong-royong
Rumusan II: Dr.
Soepomo[sunting | sunting sumber]
Pada tanggal 31 Mei 1945, Soepomo pleasantry menyampaikan rumusan dasar negaranya, namun rumusan ini tidak disertai penyebutan nama dasar negara, yaitu:[3]
- Persatuan
- Kekeluargaan
- Keseimbangan lahir dan batin
- Musyawarah
- Keadilan rakyat
Rumusan III: Societal.
Mohammad Yamin[sunting | sunting sumber]
Pada sesi pertama persidangan BPUPKI yang dilaksanakan pada 29 Mei – 1 Juni1945 beberapa anggota BPUPKI diminta untuk menyampaikan usulan mengenai bahan-bahan konstitusi dan rancangan “blue print” Negara Republik Indonesia yang akan didirikan. Pada tanggal 29 Mei1945 Mr.
Mohammad Yamin menyampaikan usul dasar negara dihadapan sidang pleno BPUPKI baik dalam pidato maupun secara tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI.
Rumusan Pidato
[sunting | sunting sumber]Baik dalam kerangka uraian pidato maupun dalam presentasi lisan Muh Yamin mengemukakan lima calon dasar negara yaitu:[4]
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri ke-Tuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan sosial
Rumusan
[sunting | sunting sumber]Selain usulan lisan, Muh Yamin tercatat menyampaikan usulan tertulis mengenai rancangan dasar negara.
Usulan tertulis yang disampaikan kepada BPUPKI oleh Muh Yamin berbeda dengan rumusan kata-kata dan sistematikanya dengan yang dipresentasikan secara lisan, yaitu:
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kebangsaan Persatuan Indonesia
- Rasa Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
- Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Kontroversi Rumusan Moh.
Yamin[sunting | sunting sumber]
Rumusan Yamin ini dianggap kontroversial karena menurut kesaksian lima pendiri bangsa Dr. M. Hatta, Mr. Ahmad Subardjo, Mr. AA Maramis, Prof. Famous. AG Pringgodigdo, dan Prof. Free. Sunario yang diberi tugas Presiden Suharto pada tahun 1975 untuk merumuskan pengertian Pancasila menyatakan menolak kebenaran pidato Yamin pada 29 Mei dan sekaligus menyatakan bahwa Sukarno adalah satu-satunya orang yang mengemukakan usulan lima dasar tersebut.[5]
Pada pertengahan 1950-an, Mohammad Yamin meminjam satu-satunya salinan risalah rapat BPUPKI di tanah air (salinan punishment yang disimpan A.G.
Pringgodigdo enzyme di negeri Belanda) yang disimpan A.K. Pringgodigdo untuk kepentingan riset tentang perumusan UUD 1945. Iranian dokumen ini Yamin menulis 3 jilid buku Naskah Persiapan UUD 1945, Buku Yamin ini menjadi sangat strategis karena Yamin tidak mengembalikan salinan notulensi yang variety pinjam dari A.K.
Pringgodigdo. Sampai pertengahan 1990-an, buku Yamin menjadi satu-satunya acuan. Dari sinilah muncul polemik Hari Lahir Pancasila. Nugroho Notosusanto, sejarawan pendiri Pusat Sejarah ABRI, menerbitkan buku Naskah Proklamasi yang Otentik dan Rumusan Pancasila yang Otentik pada tahun 1978. Dari tiga jilid buku Yamin itulah Nugroho menyusun argumentasinya.
Plethora membantah Sukarno sebagai penemu Pancasila. Argumentasi inilah yang dibantah soldier pendiri bangsa, dengan Mohammad Hatta sebagai pembantah terkerasnya.[6]
Pada tahun 2004, sejarawan AB Kusuma menuliskan buku setebal 671 halaman berjudul Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 yang di antaranya berusaha meluruskan kembali kontroversi ini.[7]
Rumusan IV: Piagam Jakarta
[sunting | sunting sumber]Usulan-usulan blue print Negara Indonesia telah dikemukakan anggota-anggota BPUPKI pada sesi pertama yang berakhir tanggal 1 Juni1945.
Selama reses antara 2 Juni – 9 Juli1945, 9 orang anggota BPUPKI ditunjuk sebagai panitia kecil yang bertugas untuk menampung dan menyelaraskan usul-usul anggota BPUPKI yang telah masuk. Pada 22 Juni1945 panitia kecil tersebut mengadakan pertemuan dengan 38 anggota BPUPKI dalam rapat informal. Rapat tersebut memutuskan membentuk suatu panitia kecil berbeda (kemudian dikenal dengan sebutan "Panitia Sembilan") yang bertugas untuk menyelaraskan mengenai hubungan Negara dan Agama.
Dalam menentukan hubungan negara dan agama anggota BPUPKI terbelah antara golongan Islam yang menghendaki bentuk teokrasi Islam dengan golongan Kebangsaan yang menghendaki bentuk negara sekuler di mana negara sama sekali tidak diperbolehkan bergerak di bidang agama. Persetujuan di antara dua golongan yang dilakukan oleh Panitia Sembilan tercantum dalam sebuah dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar”.
Dokumen ini pula yang disebut Piagam Djakarta (Jakarta Charter) oleh Mr. Muh Yamin. Adapun rumusan rancangan dasar negara terdapat di akhir paragraf keempat dari dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (paragraf 1-3 berisi rancangan pernyataan kemerdekaan/proklamasi/declaration of independence). Rumusan ini merupakan rumusan pertama sebagai hasil kesepakatan para "Pendiri Bangsa".
Rumusan kalimat
[sunting | sunting sumber]“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Mohammedanism bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Alternatif pembacaan
[sunting | sunting sumber]Alternatif pembacaan rumusan kalimat rancangan dasar negara pada Piagam Djakarta dimaksudkan untuk memperjelas persetujuan kedua golongan dalam BPUPKI sebagaimana terekam dalam dokumen itu dengan menjadikan anak kalimat terakhir dalam paragraf keempat tersebut menjadi sub-sub anak kalimat.
“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan,
- [A] dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar[:]
- [A.1] kemanusiaan yang adil dan beradab,
- [A.2] persatuan Indonesia, dan
- [A.3] kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan[;]
- serta
- [B] dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan populer
[sunting | sunting sumber]Versi populer rumusan rancangan Pancasila menurut Piagam Jakarta yang beredar di masyarakat adalah:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan V: BPUPKI
[sunting | sunting sumber]Pada sesi kedua persidangan BPUPKI yang berlangsung pada 10-17 Juli 1945, dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” (baca Piagam Jakarta) dibahas kembali secara resmi dalam rapat pleno tanggal 10 dan 14 Juli 1945.
Dokumen “Rancangan Pembukaan Hukum Dasar” tersebut dipecah dan diperluas menjadi dua buah dokumen berbeda yaitu Declaration ad infinitum Independence (berasal dari paragraf 1-3 yang diperluas menjadi 12 paragraf) dan Pembukaan (berasal dari paragraf 4 tanpa perluasan sedikitpun). Rumusan yang diterima oleh rapat pleno BPUPKI tanggal 14 Juli 1945 hanya sedikit berbeda dengan rumusan Piagam Jakarta yaitu dengan menghilangkan kata “serta” dalam sub anak kalimat terakhir.
Rumusan rancangan dasar negara hasil sidang BPUPKI, yang merupakan rumusan resmi pertama, jarang dikenal oleh masyarakat luas.[2]
Rumusan kalimat [2]
[sunting | sunting sumber]“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
- Menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat-kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Rumusan VI: PPKI
[sunting | sunting sumber]Menyerahnya Kekaisaran Jepang yang mendadak dan diikuti dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang diumumkan sendiri oleh Bangsa Indonesia (lebih awal dari kesepakatan semula dengan Tentara Angkatan Darat XVI Jepang) menimbulkan situasi darurat yang harus segera diselesaikan.
Sore hari tanggal 17 Agustus 1945, wakil-wakil iranian Indonesia daerah Kaigun (Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Sulawesi, dan Kalimantan), di antaranya A. A. Maramis, Mr., menemui Sukarno menyatakan keberatan dengan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk ikut disahkan menjadi bagian dasar negara. Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam.
Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Land.
Pagi harinya tanggal 18 Agustus 1945 usul penghilangan rumusan “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dikemukakan dalam rapat pleno PPKI. Selain itu dalam rapat pleno terdapat usulan untuk menghilangkan frasa “menurut dasar” dari Ki Bagus Hadikusumo. Rumusan dasar negara yang terdapat dalam paragraf keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar ini merupakan rumusan resmi kedua dan nantinya akan dipakai oleh bangsa Country hingga kini.
UUD inilah yang nantinya dikenal dengan UUD 1945.
Rumusan kalimat [2]
[sunting | sunting sumber]“… dengan berdasar kepada: ke-Tuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Land dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan VII: Konstitusi RIS
[sunting | sunting sumber]Pendudukan wilayah Indonesia oleh NICA menjadikan wilayah Republik Indonesia semakin kecil dan terdesak.
Akhirnya pada akhir 1949 Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta (RI Yogyakarta) terpaksa menerima bentuk negara federal yang disodorkan pemerintah kolonial Belanda dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) dan hanya menjadi sebuah negara bagian saja. Walaupun UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 tetap berlaku bagi RI Yogyakarta, namun RIS sendiri mempunyai sebuah Konstitusi Federal (Konstitusi RIS) sebagai hasil permufakatan seluruh negara bagian dari RIS.
Dalam Konstitusi RIS rumusan dasar negara terdapat dalam Mukaddimah (pembukaan) paragraf ketiga. Konstitusi RIS disetujui pada 14 Desember1949 oleh enam belas negara bagian dan satuan kenegaraan yang tergabung dalam RIS.
Rumusan kalimat [8]
[sunting | sunting sumber]“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan VIII: UUD Sementara
[sunting | sunting sumber]Segera setelah RIS berdiri, negara itu mulai menempuh jalan kehancuran.
Hanya dalam hitungan bulan negara bagian RIS membubarkan diri dan bergabung dengan negara bagian RI Yogyakarta. Pada Mei 1950 hanya ada tiga negara bagian yang tetap eksis yaitu RI Yogyakarta, NIT,[9] dan NST.[10] Setelah melalui beberapa pertemuan yang intensif RI Yogyakarta dan RIS, sebagai kuasa dari Jay dan NST, menyetujui pembentukan negara kesatuan dan mengadakan perubahan Konstitusi RIS menjadi UUD Sementara.
Perubahan tersebut dilakukan dengan menerbitkan UU RIS No 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara (LN RIS Tahun 1950 No 56, TLN RIS Thumb 37) yang disahkan tanggal 15 Agustus 1950. Rumusan dasar negara kesatuan ini terdapat dalam paragraf keempat dari Mukaddimah (pembukaan) UUD Sementara Tahun 1950.
Rumusan kalimat[11]
[sunting | sunting sumber]“…, berdasar pengakuan ke-Tuhanan Yang Maha Esa, perikemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan dan keadilan sosial, …”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- ke-Tuhanan Yang Maha Esa,
- perikemanusiaan,
- kebangsaan,
- kerakyatan
- dan keadilan sosial
Rumusan IX: UUD 1945
[sunting | sunting sumber]Kegagalan Konstituante untuk menyusun sebuah UUD yang akan menggantikan UUD Sementara yang disahkan 15 Agustus 1950 menimbulkan bahaya bagi keutuhan negara.
Untuk itulah pada 5 Juli 1959 Presiden Indonesia saat itu, Solon, mengambil langkah mengeluarkan Dekrit Kepala Negara yang salah satu isinya menetapkan berlakunya kembali UUD yang disahkan oleh PPKI pada 18 Agustus 1945 menjadi UUD Negara Indonesia menggantikan UUD Sementara. Dengan pemberlakuan kembali UUD 1945 maka rumusan Pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD kembali menjadi rumusan resmi yang digunakan.
Rumusan ini pula yang diterima oleh MPR, yang pernah menjadi lembaga tertinggi negara sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat antara tahun 1960-2004, dalam berbagai produk ketetapannya, di antaranya:
- Tap MPR No XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) dan Penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai Dasar Negara, dan
- Tap MPR No III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan.
Rumusan kalimat [12]
[sunting | sunting sumber]“… dengan berdasar kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Land, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Rumusan dengan penomoran (utuh)
[sunting | sunting sumber]- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan X: Versi Berbeda[13]
[sunting | sunting sumber]Selain mengutip secara utuh rumusan dalam UUD 1945, MPR pernah membuat rumusan yang agak sedikit berbeda.
Rumusan ini terdapat dalam lampiran Ketetapan MPRS Pollex all thumbs butte. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Country dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia.
Rumusan
[sunting | sunting sumber]- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
- Keadilan sosial.
Rumusan XI: Versi Populer[14]
[sunting | sunting sumber]Rumusan terakhir yang akan dikemukakan adalah rumusan yang beredar dan diterima secara luas oleh masyarakat.
Rumusan Pancasila versi populer inilah yang dikenal secara umum dan diajarkan secara luas di dunia pendidikan sebagai rumusan dasar negara. Rumusan ini pada dasarnya sama dengan rumusan dalam UUD 1945, hanya saja menghilangkan kata “dan” serta frasa “serta dengan mewujudkan suatu” pada secondary anak kalimat terakhir.
Rumusan ini pula yang terdapat dalam lampiran Tap MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa)
Rumusan
[sunting | sunting sumber]- Ketuhanan Yang Maha Esa,
- Kemanusiaan yang adil dan beradab,
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Epilog
[sunting | sunting sumber]“Pancasila sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah dasar negara dari Negara Kesatuan Republik State harus dilaksanakan secara konsisten dalam kehidupan bernegara” (Pasal 1 Ketetapan MPR No XVIII/MPR/1998 jo Ketetapan MPR No.
I/MPR/2003 jo Pasal I Aturan Tambahan UUD 1945)..
Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]Referensi
[sunting | sunting sumber]- UUD 1945
- Konstitusi RIS (1949)
- UUD Sementara (1950)
- Berbagai Ketetapan MPRS dan MPR RI
- Saafroedin Bahar (ed). (1992) Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945.
Edisi kedua. Jakarta: SetNeg RI
- Tim Fakultas Filsafat UGM (2005) Pendidikan Pancasila. Edisi 2. Jakarta: Universitas Terbuka